Tuesday, November 29, 2016

Kasus Korupsi PLTU PAITON I Probolinggo

Kasus pidana Paiton I sudah tersedia bukti permulaan yang kuat yakni hasil audit investigasi BPKP . Kasus dugaan korupsi pengadaan listrik swasta Paiton I di Probolinggo bermula dari Lmarkup terhadap capital cost sebesar 48 persen dari seluruh nilai proyek yang sebesar Rp 7,015 triliun. Sebenarnya, Paiton I telah diaudit BPKP dan due diligence SNC-Lavalin. Kedua lembaga tersebut jelas-jelas menyatakan ada mark up dan rekayasa besar-besaran pada sisi proses penyiapan listrik swasta dan proses investasinya. Dalam Laporannya, BPKP membedah secara gamblang proses Korupsi Kolusi Nepotisme (KKN) yang terjadi, mulai dari perencanaan, proses mendapatkan Surat Ijin Prinsip, pembiayaan, pelaksanaan, produksi, distribusi, konsumsi, pembayaran dan berbagai previlege yang didapat dengan merugikan keuangan negara sekitar 

Kasus ini ditangani Kejaksaan Agung (Kejagung). Dalam kasus tersebut bekas Direktur Utama PLN Zuhal dan bekas Dirut PLN Djiteng Marsudi sudah diperiksa. Menurut hasil penyelidikan Kejagung, proyek Paiton I dinilai melanggar keputusan presiden mengenai prosedur pengadaan listrik di lingkungan departemen yang harus melalui prosedur lelang. Indikasi kolusi terlihat dalam proses negosiasi melalui bukti Surat Menteri Pertambangan dan Energi tertanggal 13 Februari 1993.Dalam surat itu dinyatakan persetujuan, kesepakatan, dan nilai prematur yang tak sesuai dengan kondisi sebenarnya. 

Penyelidikan kasus Paiton I dihentikan Kejaksaan Agung (Kejagung) pada 2001. Pada akhir 2002, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memerintahkan Kejakgung melanjutkan proses penyidikan kasus PLTU Paiton I dalam sidang praperadilan yang diajukan oleh kelompok masyarakat. Namun, Kejagung tidak bertindak. Pada akhir 2004, sebuah organisasi non-pemerintah juga telah melaporkan kasus Paiton I ke KPK, namun anehnya hingga sekarang lembaga pemberantas korupsi itu tidak melakukan tindakan apapun.

Kasus Simulator SIM

Pada 2011, KPK melakukan penyidikan kasus dugaan korupsi pengadaan alat simulator Surat Izin Mengemudi (SIM) di Korlantas Polri. Penyidikan proyek senilai Rp 198 tersebut menyeret nama-nama petinggi Mabes Polri, salah satunya yakni Kepala Korps Lalu Lintas Mabes Polri  Inspektur Jenderal Polisi Djoko Susilo. Djoko ditetapkan sebagai tersangka bersama dengan beberapa orang lainnya, yakni Brigjen Didik Purnomo, Direktur PT CMMA Budi Susanto, dan Direktur PT Inovasi Teknologi Indonesia, Sukotjo Bambang.
Perbuatan tersebut menurut penghitungan BPK mengakibatkan kerugian negara sebesar Rp121,3 miliar. Djoko, jenderal bintang dua yang juga Gubernur Akademi Kepolisian itu diduga memperkaya diri sendiri (melalui tindak pidana pencucian uang) atau orang lain atau korporasi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi. Pada September 2013, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi menjatuhkan vonis 10 tahun dan denda Rp500 juta bagi sang jenderal.
Djoko Susilo kemudian mengajukan permohonan banding atas vonis tersebut, namun Pengadilan Tinggi Jakarta justru menambah hukuman Djoko dari 10 tahun menjadi 18 tahun serta memerintahkan Djoko yang saat ini ditahan di Lapas Sukamiskin, Bandung, membayar uang pengganti Rp32 miliar, dan sejumlah pidana tambahan, antara lain: pencabutan hak untuk memilih dan dipilih dalam jabatan publik.Sementara itu, tersangka lain yakni Brigjen Didik Purnomo, juga telah ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK.
Didik selaku Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) dalam proyek ini disebut terbukti menerima Rp 50 juta dari pengusaha Budi Susanto untuk memuluskan PT CMMA sebagai penggarap proyek simulator. Budi Santoso sendiri sempat dijatuhi vonis 8 tahun penjara dan kewajiban membayar ganti rugi sebesar Rp 17,1 miliar pada awal 2014  lalu. Di tingkat kasasi, MA mengabulkan upaya kasasi yang diajukan oleh Jaksa KPK dan memvonis Direktur PT CMMA tersebut dengan hukuman lebih berat berupa 14 tahun penjara serta kewajiban membayar ganti rugi ke negara hingga Rp 88,4 miliar.
Sementara itu, pada Mei 2012, Sukotjo Bambang divonis Majelis Hakim Pengadilan Negeri Bandung selama 3,5 tahun penjara sekitar Rp 38 miliar untuk pengadaan simulator kemudi di Korlantas Polri. Putusan tingkat pertama ini lalu diperberat menjadi 3 tahun dan 10 bulan oleh Pengadilan Tinggi Bandung. Atas dua putusan tersebut, Bambang melakukan kasasi ke Mahkamah Agung per 8 Agustus 2012, namun ditolak.

Monday, November 28, 2016

Divonis 6 Tahun Penjara, Eddy Sofyan Ajukan Kasasi

Divonis 6 Tahun Penjara, Eddy Sofyan Ajukan Kasasi
  • Nov 15, 2016
Image result for kasus korupsi di indonesia eddy
MEDAN, SUMUTPOS.CO -Divonis 6 tahun penjara ditingkat banding di Pengadilan Tinggi (PT) Medan, atas kasus korupsi Dana Hibah dan Bantuan Sosial (Bansos) Pemerintah Provinsi Sumatera Utara (Pemprov Sumut). Terdakwa, Eddy Sofyan melalu tim kuasa hukumnya mengajukan kasasi di Mahkamah Agung (MA) RI.
Dengan ini, ?Mantan Kepala Badan Kesatuan Bangsa Politik dan Perlindungan Masyaratakat Provinsi Sumatera Utara (Kesbangpol dan Linmas Provsu), Eddy Syofian melajukan upaya hukum di MA RI.
“Saya sudah tanya tim saya, bahwa pak Eddy Syofian telah mengajukan kasasi ke MA atas putusan 6 tahun terhadap klien kita (Eddy Syofian),” sebut kuasa hukum Eddy Syofian, Japansen Sinaga saat dikonfirmasi wartawan melalui telepon selular, Senin (14/11) siang.
Ketua Peradi Cabang Medan versi Juniver Girsang ini mengaku bukan dirinya yang menyiapkan memory kasasi tersebut.Karena itu, Japansen tidak mengetahui kapan memory kasasi tersebut diajukan. Yang dipastikan akan segera diajukan dalam waktu dekat setelah anggotanya melaporkan hal tersebut kepada dirinya.
“Saya tidak tahu. Karena tim belum melaporkan ke saya. Hanya baru sebatas mengajukan kasasi saja,” sebut Japansen. Senada dengan tim kuasa hukum Eddy Syofian, pihak Jaksa Penuntut Umum juga turut mengajukan kontra kasasi ke MA. “Iya kan kasasi mereka (Eddy Syofian dan kuasa hukumnya). Jadi kita juga turut kasasi,” ujar JPU Rehulina Purba dan Ingan Malem Purba.
Diketahui, majelis hakim tinggi yang diketuai oleh Cicut Sutiarso didampingi hakim tinggi anggota yakni Robert Simorangkir dan Mangasa Manurung menghukum Eddy Syofian selama 6 tahun penjara dan denda Rp 200 juta subsidair 6 bulan kurungan dan membebankan membayar Uang Pengganti (UP) sebesar Rp 1,145 miliar.
Eddy Syofian terbukti bersalah melakukan korupsi pada penyaluran dana hibah dan bansos di Kesbangpol dan Linmas Provsu pada Tahun Anggaran (TA) 2012-2013 yang menyebabkan kerugian negara sebesar Rp 1,145 miliar. (gus)

Tuesday, November 22, 2016

Kasus Korupsi Muhammad Nazaruddin - Shabrina 10e

Kasus Nazaruddin bermula pada saat dirinya dituduh menjadi aktor dibalik kasus suap. Nama Muhammad mulai banyak diperbincangkan ketika dirinya dituduh dalam kasus suap Sesmenpora Wafid Muharram. Menurut Kamarudin Simanjutak kliennya disuruh oleh seorang anggota partai politik yang diketahui namanya Nazaruddin. 

 Penetapan nazaruddin sebagai tersangka yang pada awalnya dirinya berkelit terlibat kasus penyuapan dan pemberontakan yang dilakukan tetapi akhirnya terbukti sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi. Sehari sebelum ditetapkannya Nazaruddin ditetapkan sebagai tersangka dirinya berhasil melarikan diri keluar negeri dengan alasan pemeriksaan kesehatan.  

Pada saat itu kasus ini mencuat Nazaruddin merupakan bendahara umum di partai Demokrat. Kasusu ini membuat secara tidsk langsung membuat pamor dari partai Demokrat turun di mata masyarakat. Melihat dirinya kebelakang Muhammad Nazaruddin sebelum terlibat dalam kasus penyuapan merupakan pernah terlibat dalam kasus pemalsuan dokumen yang pada saat itu dilakukan agar persuhaan perusahaan miliknya PT Anugerah Nusantara memenuhi persyaratan mengikuti proyek tender pengadaan di Departemen Perindustrin yang bernilai Rp. 100 M. 

 Kasus tersebut terjadi pada tahun 2005 dan sempat dilakukan pemeriksaan di Polda Metro Jaya. Namun tiba-tiba keluar Sp-3 terhadap kasus tersebut sehingga dirinya terbebas dari masalah tersebut. Setelah kasus tersebut muncul lagi kasus yang hangat di perbincangkan yang terkait Nazaruddin adalah kasus percobaan yang dilakukan Nazaruddin pada Seketris Jendral M Gaffar.  

Kasus tersebut langsung ditangkap oleh ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud M. D. Nazaruddin memberikan sejumlah amplop yang berisi sejumlah uang kepada sekjen Mk tanpa ada alasan yang jelas. Setelah Nazaruddin ditetapkan sebagai tersangka Muhammad Nazaruddin justru menghilang dan sulit di temukan di Indonesia, yang akhirnya menjadi buronan interpool yang tertangkap di Kolombia. 

 Tertangkap pada 7 Agustus 2011 di Bogota Kolombia sebelum tertangkap Nazaruddin sempat membeberkan beberapa kasus terutama yang berhubungan dengan Kongres Partai Demokrat dan juga tuduhan terhadap rekayasa kasus yang dilakukan oleh KPK. Pengajuaan kasasi oleh Jaksa penuntut Umum Komisi Pemberantasan Korupsi, Mahkamah Agung (MA) menolak kasasi terdakwa kasus dugaan korupsi pembangunan Wisma Atlet Palembang, M.Nazaruddin. Putusan ini juga mengabulkan permohonan kasasi yang diajukan Jaksa Penuntut Umum Komisi KPK. 

Kepala biro Hukum dan Humas Mahkamah Agung, Ridwan Mansyur menjelaskan putusan MA ini memperberat hukuman Nazaruddin yang dijatuhkan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, yaitu empat tahun 10 bulan penjara menjadi tujuh tahun penjara. Selain itu, dalam putusannya, MA juga memberikan hukuman denda Rp 300 juta kepada Nazaruddin.  

 "Mengadili, menolak permohonan kasasi dari pemohon kasasi 2 Muhamad Nazaruddin. Mengabulkan permohonan dari pemohon kasasi 1 jaksa pada Komisi Pemberantasan Korupsi. Membatalkan putusan pengadilan tindak pidana korupsi pada Pengadilan Tinggi Jakarta no 31/PIT/TPK/2012-PT DKI TANGGAL 8 Agustus 2012, yang telah menguatkan putusan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tanggal 20 april 2012. Mengadili sendiri, menyatakan terdakwa Muhamad Nazaruddin terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi. Menghukum pidana selama 7 tahun dan denda Rp 300 juta. 

Ridwan Mansyur menambahkan, dalam putusan kasasi itu juga menjelaskan, apabila denda Rp 300 juta tidak dibayar, dapat diganti pidana penjara selama enam bulan. Putusan kasasi itu menurut Ridwan, dengan Majelis Hakim kasasi yang diketuai Hakim Agung Artidjo Alkostar dengan dua anggota majelis, yakni Hakim Agung Mohammad Askin dan Hakim Agung MS Lumme. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengaku menerima putusan kasasi Mahkamah Agung (MA) terkait kasus suap pembangunan Wisma Atlet SEA Games dengan terdakwa Muhammad Nazaruddin. 

 Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada 20 April 2012 menjatuhkan pidana empat tahun sepuluh bulan penjara dan denda Rp. 200 juta kepada Nazaruddin. Vonis tersebut lebih ringan dibandingkan tuntutan jaksa yang menuntut Nazaruddin dengan pidana penjara selama tujuh tahun. Di persidangan, mantan bendahara umum partai Demokrat itu terbukti menerima suap Rp 4,6 miliar. Nazar juga dinilai memiliki andil membuat PT DGI menang lelang proyek senilai Rp. 191 miliar di Kementerian Pemuda dan Olahraga.

Kronologi Kasus OC Kaligis Hingga Penangkapan oleh Pihak KPK

KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) mendakwa Otto Cornelis Kaligis atas dugaan penyuapan terhadap hakim dan panitera Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Medan. Dalam kasus ini, Kaligis disebutkan melakukan penyuapan sebanyak dua kali kepada hakim. Sebelum akhirnya penyuapan ketiga dilakukan oleh M. Yagari Bhastara Guntur atau Gary yang berujung pada penangkapan.
Sebenarnya bagaimana kasus ini bermula? Berdasarkan informasi dari berbagai sumber, berikut IDNtimes berikan kronologi kasus suap OC Kaligis.
Pertama, pihak penuntut umum menyebutkan penyuapan bermula saat Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara memanggil Bendahara Umum Pemprov Sumatera utara, Achmad Fuad Lubis. Pemanggilan tersebut dalam rangka memberikan keterangan terkait kasus korupsi dana bansos. Gubernur Sumetara Utara, Gatot Pujo Nugroho yang merupakan atasan Fuad memberitahukan kepada Kaligis atas adanya pemanggilan tersebut.
April 2015 – OC Kaligis memberikan amplop berisikan 5.000 dolar Singapura untuk Tripeni dan 1.000 dollar Singapura untuk Syamsir.oc-today-508827d702ca2e4a1efa71980f0ad519.jpg
Gatot dan istri kemudian pergi ke kantor Kaligis karena khawatir pemanggilan terhadap Fuad nanti akan bisa mengarah kepada dirinya. Kaligis lalu mengusulkan Fuad untuk mengajukan gugatannya ke PTUN Medan. Selanjutnya, Kaligis menjadi kuasa hukum Fuad dalam gugatan ke PTUN Medan tersebut.
Kaligis, Gary dan Indah kemudian bertemu dengan Syamsir dan Tripeni untuk membicarakan mengenai gugatan. Pada saat itu, Kaligis memberikan amplop berisi uang dengan nominal 5.000 dolar Singapura kepada Tripeni Irianto selaku ketua PTUN. Serta menemui Syamsir Yusfan selaku Panitera PTUN dan memberi uang 1.000 dolar Singapura.
5 Mei 2015 – OC Kaligis kembali memberikan amplop berisikan 10.000 dolar Singapura untuk Tripeni.


Kaligis dan Gary kembali datang ke kantor PTUN Medan. Dalam pertemuan tersebut, OC Kaligis memberikan uang sejumlah 10.000 dolar Amerika supaya Tripeni mau menjadi hakim yang menangani perkaranya. Gary pun kemudian mendaftarkan gugatannya.
18 Mei 2015 – Kaligis dan Gary menyuruh Tripeni untuk memutuskan perkara sesuai dengan gugatannya.
Kaligis, Gary dan Indah menemui Tripeni guna meyakinkannya untuk berani memutuskan perkara sesuai dengan gugatan.
1 Juli 2015 – Kaligis terima uang 50 juta rupiah dan 30.000 dolar Amerika dari Evy Susanti.
Sekretaris dan Kepala Bagian Administrasi dari Kantor OC Kaligis & Assciates, Yenny Octorina Misnan memberitahukan kepada Kaligis bahwa ada penerimaan uang sebesar 50 juta rupiah dan 30 ribu dolar Amerika yang diterima dari Evy Susanti yang merupakan istri dari Gubernur Sumatera Utara.
Kaligis kemudian meminta Yenny untuk membungkusnya dalam lima amplop, tiga amplop masing-masing berisi 3.000 dollar Amerika dan dua amplop berisikan 1.000 dollar Amerika.
2 Juli 2015 – Tripeni tolak pemberian amplop, OC Kaligis minta uang tambahan kepada Evy sebesar 25.000 dolar Amerika.
Kaligis bertemu dengan Tripeni, namun dia menolak pemberian amplop tersebut. Kaligis lalu bertemu dengan Evy di Jakarta dan meminta uang tambahan dengan besaran 25.000 dolar Amerika untuk diberikan kepada tiga hakim.
5 Juli 2015 – Gary bertemu dengan Hakim Dermawan dan Hakim Amir sembari menyerahkan amplop putih berisikan uang 5.000 dolar AS.
Kaligis, Gary dan Indah berangkat ke Medan dan menuju ke kantor PTUN Medan. Kaligis dan Indah menunggu di mobil, sementara itu Gary masuk dan menyerahkan amplop putih yang nilainya masing-masing 5.000 dolar Amerika kepada Hakim Dermawan dan Hakim Amir.

Kasus Korupsi Rp 270 Miliar, Bekas Bupati Dihukum 1,5 Tahun Bui

Kasus Korupsi Rp 270 Miliar, Bekas Bupati Dihukum 1,5 Tahun Bui
Didakwa terlibat korupsi bantuan sosial (Bansos) di Kabupaten Bengkalis senilai Rp 270 miliar dan disebut turut merugikan negara Rp 31 miliar, mantan Bupati Bengkalis Herliyan Saleh lepas dari 8 tahun penjara. Dalam vonis di Pengadilan Tipikor Pekanbaru pada Selasa petang, 11 Oktober 2016, politikus PAN itu hanya divonis 1 tahun dan 6 bulan penjara oleh majelis hakim yang diketuai Dr Marsudin Nainggolan. "Menyatakan terdakwa tak terbukti melanggar pasal 2 ayat 1 sebagaimana dakwaan Primair. Dan menyatakan terdakwa melanggar Pasal 3 Undang-Undang tentang Korupsi juncto Pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP," ujar Marsudin dalam amar putusannya. Dalam pertimbangan vonis, Marsudin menyebut Herliyan bukan aktor utama, melainkan merupakan pihak yang turut serta menyebabkan kerugian negara dalam menggunakan anggaran daerah. Menurut hakim, yang menjadi aktor utama dalam menyetujui penyaluran Bansos pada 2012 adalah mantan Ketua DPRD Bengkalis, Jamal Abdillan, beserta para legislator kala itu yang sudah divonis bersalah.

-Anthoni Alvaro 10E

Kasus  Korusi Bansos di Bengkalis

          
          
         Korupsi di Indonesia berkembang secara sistemik. Bagi banyak orang korupsi bukan lagi merupakan suatu pelanggaran hukum, melainkan sekedar suatu kebiasaan. Dalam seluruh penelitian perbandingan korupsi antar negara. 
          Didakwa terlibat korupsi bantuan sosial (Bansos) di Kabupaten Bengkalis senilai Rp 270 miliar dan disebut turut merugikan negara Rp 31 miliar, mantan Bupati Bengkalis Herliyan Saleh lepas dari 8 tahun penjara.
          Pengadilan Tipikor Pekanbaru pada Selasa petang, 11 Oktober 2016, politikus PAN itu hanya divonis 1 tahun dan 6 bulan penjara oleh majelis hakim yang diketuai Dr Marsudin Nainggolan.
           Herliyan patut diminta pertanggungjawabannya dalam kasus ini terkait jabatannya sebagai Bupati Bengkalis saat itu.
          Selain vonis penjara, Marsudin juga mewajibkan Herliyan membayar denda Rp 200 juta. Jika tak dibayar, mantan Ketua DPW PAN Riau itu diwajibkan menjalani hukuman penjara tambahan selama 2 bulan.
          Selain Herliyan, Kabag Keuangan Pemkab Bengkalis, Aziz Azrafiani Rauf alias Oton juga selama dari 8 tahun kerangkeng. Dia dihukum sama dengan Herliyan. Perbedaannya pada denda saja.
          Kedua terdakwa juga selamat dari membayar uang pengganti akibat merugikan negara. Hakim menilai keduanya tidak menikmati aliran Bansos ratusan miliar itu.
          "Majelis hakim berpendapat, dalam perkara Aquo tidak ada uang yang mengalir, maka terdakwa tidak dikenakan uang pengganti," ujar Marsudin.
          Dalam perkara ini, masih terdapat satu tersangka yang belum menjalani persidangan. Ia merupakan Ketua DPRD Bengkalis saat ini, Heru Wahyudi.
   



Di kutib dari http://regional.liputan6.com/read/2624173/kasus-korupsi-rp-270-miliar-bekas-bupati-dihukum-15-tahun-bui





Kasus BLBI

BLBI

Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) Kasus BLBI pertama kali mencuat ketika Badan Pemeriksa Keuangan mengungkapkan hasil auditnya pada Agustus 2000. Laporan itu menyebut adanya penyimpangan penyaluran dana BLBI Rp 138,4 triliun dari total dana senilai Rp 144,5 triliun. 

Di samping itu, disebutkan adanya penyelewengan penggunaan dana BLBI yang diterima 48 bank sebesar Rp 80,4 triliun. Bekas Gubernur Bank Indonesia Soedradjad Djiwandono dianggap bertanggung jawab dalam pengucuran BLBI. Sebelumnya, mantan pejabat BI lainnya yang terlibat pengucuran BLBI,Hendrobudiyanto, Paul Sutopo, dan Heru Soepraptomo, telah dijatuhi hukuman masing-masing tiga, dua setengah, dan tiga tahun penjara, yang dianggap terlalu ringan oleh para pengamat. Ketiganya kini sedang naik banding. Bersama tiga petinggi BI itu, pemilik-komisaris dari 48 bank yang terlibat BLBI, hanya beberapa yang telah diproses secara hukum. Antara lain: Hendrawan Haryono (Bank Aspac), David Nusa Widjaja (Bank Servitia), Hendra Rahardja (Bank Harapan Santosa), Sjamsul Nursalim (BDNI), dan Samadikun Hartono (Bank Modern). 

Yang jelas, hingga akhir 2002, dari 52 kasus BLBI, baru 20 dalam proses penyelidikan dan penyidikan. Sedangkan yang sudah dilimpahkan ke pengadilan hanya enam kasus Abdullah Puteh Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam yang kini non aktif ini menjadi tersangka korupsi APBD dalam pembelian helikopter dan genset listrik, dengan dugaan kerugian Rp 30 miliar.

Monday, November 21, 2016

Dahlan Iskan tersangka kasus korupsi gardu listrik


Kejaksaan Tinggi Jakarta telah menetapkan mantan Menteri BUMN dan Direktur Utama PT Perusahaan Listrik Negara, Dahlan Iskan, sebagai tersangka kasus dugaan korupsi pembangunan 21 gardu induk di Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara pada 2011-2013.
"Berdasarkan dua alat bukti, tim penyidik menyatakan bahwa saudara Dahlan Iskan telah memenuhi syarat untuk menjadi tersangka," kata Kepala Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta Adi Toegarisman, dalam jumpa pers pada Jumat (5/6) sore.
Menurut Kepala Kejati Jakarta, Dahlan ditetapkan sebagai tersangka dalam posisi sebagai kuasa pengguna anggaran dalam kasus dugaan korupsi pembangunan 21 gardu induk tersebut.
Dahlan Iskan menjabat sebagai Direktur Utama PT Perusahaan Listrik Negara saat kasus dugaan korupsi ini terjadi.
Sebelum ditetapkan sebagai tersangka, Dahlan Iskan telah diperiksa oleh tim penyidik kejaksaan pada Kamis (04/06) dan dilanjutkan pada Jumat (05/06) ini.
Walaupun telah ditetapkan sebagai tersangka, Dahlan Iskan tidak ditahan. Pekan depan, dia akan kembali diperiksa oleh Kejati.

Sunday, November 20, 2016

  1. Operasi Tangkap Tangan terhadap Rudi Rubiandini

Pertengahan 2013 lalu, KPK kembali menyita perhatian publik melalui aksi operasi tangkap tangan Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas), Rudi Rubiandini. Sarjana Teknik Perminyakan Institut Teknologi Bandung 1985  tersebut ditangkap saat menerima uang suap senilai US$ 700 ribu (sekitar Rp 7,2 miliar). Rudi Rubiandini ditangkap di rumahnya bersama dua kolega dari sebuah perusahaan swasta, tanpa perlawanan.
Dengan mengenakan baju lengan pendek warna putih tampak tersenyum kepada para penangkapnya. Penyidik KPK juga menahan beberapa orang lainnya. Di antaranya sopir Rudi Rubiandini. Dalam penangkapan itu, KPK juga memboyong tas hitam, sejumlah kardus, dan sepeda motor gede BMW. Operasi tangkap tangan terhadap Rudi memecahkan rekor operasi tangkap tangan yang pernah dilakukan KPK sebelumnya.
Rekor sebelumnya dipegang Artalyta Suryani. Dalam operasi tangkap tangan itu, KPK menyita uang US$ 660 ribu (Rp 6,8 miliar) yang diduga diberikan Artalyta atau Ayin untuk menyuap Ketua Tim Jaksa Penyelidik kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), Urip Tri Gunawan. Penangkapan Rudi Rubiandini itu juga mengalahkan operasi tangkap tangan lainnya, seperti penangkapan Ahmad Fathanah. Fathanah ditangkap di Hotel Le Meridien seusai menerima uang Rp 1 miliar dari importir daging, PT Indoguna Utama.Penangkapan Rudi itu mengejutkan banyak kalangan, dari mulai pejabat hingga DPR.
Saat dilantik, Rudi Rubiandini menjadi tumpuan banyak orang untuk membenahi SKK Migas. April lalu, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi memvonis Rudi tujuh tahun penjara—lebih rendah dari tuntutan jaksa penuntut sebelumnya yaitu 10 tahun—karena terbukti menerima suap dari perusahaan minyak asing, Karnel Oil. Rudi dianggap tidak mendukung pemerintah dalam melakukan pemberantasan korupsi dan menyalahgunakan wewenangnya terkait pelaksanaan proyek di Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas (SKK Migas). Pria yang sebelumnya sempat sebagai Wakil Menteri ESDM itu juga diharuskan membayar denda sebesar Rp200 juta subsider tiga bulan kurungan. 

Friday, November 18, 2016

Gubernur Sumatera Utara Ditahan KPK


Gubernur sumatera utara gatot pujo nugroho dan evy susanti resmi ditahan KPK (komisi pemberantasan korupsi) ,pada tanggal 4 agustus 2015.

Penangkapan berawal dari penggeledahan kantor gubernur sumatera utara yang berada di Jalan Diponegoro, medan. Penggeledahan dilakukan oleh petugas KPK yang berjumlah 15 orang ,dengan dipimpin oleh HN Christian simatupang, yang berlangsung pada sabtu 11 juli pukul 23.00 WIB.

Kasus penggeledahan kantor pemprov sumatera utara pada 11 juli 2015, berawal dari OTT (operasi tangkap tangan) yang di lakukan oleh KPK kepada ketua Pengadilan Tinggi Usaha Negara (PTUN) ,yang di lakukan beberapa hari sebelum penggeledahan kantor pemprov sumut. Yang berimbas pada beberapa dugaan kasus korupsi yang dilakukan oleh pejabat pemerintah sumut tersebut.

Dan pada 3 agustus 2015 pukul 21.30 KPK (komisi pemberantasan korupsi), telah melakukan penangkapan terhadap gubernur sumatera utara gatot pujo nugroho beserta istrinya evy susanti , setelah melewati pemeriksaan sejak pukul 2 siang kemarin atas dugaan kasus suap PTUN (Pengadilan Tinggi Usaha Negara). Alhasil, Gatot Pujo Nugroho divonis 4.5 tahun penjara.

Dan juga resmi dijadikan tersangka atas kasus suap terhadap PTUN (Pengadilan Tinggi Usaha Negara),yang ditandai oleh keluarnya gatot pujo nugroho memakai baju oranye milik KPK yang bertuliskan ‘TERSANGKA’ pada bagian belakang.

Deeka 10E

Thursday, November 17, 2016

Korupsi Proyek Pengadaan Al Quran Kemenag

September 2013 lalu, KPK memeriksa Direktur Urusan Agama Islam dan Pembinaan Syariah, Direktorat Jenderal Pembinaan Masyarakat (Bimas) Islam Kementerian Agama, Ahmad Jauhari. Jauhari diperiksa terkait posisinya sebagai tersangka kasus dugaan korupsi proyek pengadaan Al Quran dan laboratorium periode 2011-2013 di Kementerian Agama.
KPK menetapkan Jauhari sebagai tersangka atas dugaan penyalahgunaan wewenang untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain, namun justru merugikan keuangan Negara yang melanggar Pasal 2 ayat 1 atau Pasal 3 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. 
Penetapan Jauhari sebagai tersangka merupakan pengembangan penyidikan kasus dugaan penerimaan suap terkait kepengurusan anggaran proyek Al Quran dan laboratorium Kementerian Agama (Kemenag) yang telah lebih dulu menjerat anggota Komisi VIII Dewan Perwakilan Rakyat Zulkarnaen Djabar berserta putranya, Dendy Prasetya.
Zulkarnen Djabar kemudian divonis 15 tahun penjara ditambah denda Rp 300 juta subsider 1 bulan kurungan, sementara putranya, Dendy Prasetya, divonis 8 tahun penjara ditambah denda Rp 300 juta subsider 1 bulan kurungan. Sementara itu, April lalu, hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta menjatuhkan vonis delapan tahun penjara bagi Ahmad Jauhari, serta kewajiban membayar denda Rp200 juta, subsider enam bulan kurungan penjara.
Kemudian, ia juga harus membayar uang ganti rugi kepada negara sebesar Rp100 juta dan USD15 ribu namun dikurangkan lantaran sudah mengembalikannya ke KPK. Vonis ini lebih ringan dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK selama 13 tahun penjara, denda Rp200 juta subsider enam bulan kurungan, serta dituntut membayar uang pengganti sebesar Rp100 juta dan USD15 ribu. Usai vonis tersebut, Jauhari sempat mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi DKI Jakarta, namun ditolak. Pengadilan Tinggi DKI Jakarta bahkan menjatuhkan pidana penjara lebih berat terhadap Ahmad Jauhari, dari delapan tahun menjadi 10 tahun penjara.
- Bias Vala 10E
KORUPSI PENJABAT NEGARA




Penjabat negara bernama H. Ramlan Zas, SH.MH yang tertangkap korupsi untuk kasus Korupsi Anggaran Pos Pengeluaran Tidak Tersangka Pemda Kabupaten Rokan Hulu tahun 2003.

Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No. 31 tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dan ditambah dengan Undangundang No.20 Tahun 2001 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo pasal 55 ayat 1 ke-1 jo pasal 64 ayat (1) KUHP

Kerugian Negara adalah dengan jumlah Rp. 3.057.262.180,- (tiga milyar lima puluh tujuh juta dua ratus enam puluh dua ribu seratus delapan puluh rupiah) Cq. Pemda Kabupaten Rokan Hulu. Dengan hukuman dengan pidana penjara selama 3 (tiga) tahun