Wednesday, December 7, 2016

Dalami Korupsi Gubernur Sultra, KPK Periksa Lagi Dirut PT AHB

KPK menggeledah rumah tersebut terkait kasus dugaan tindak pidana korupsi penerbitan izin pertambangan. (news.xcoid.com/Helmi Afandi)news.xcoid.com, Jakarta Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali memeriksa Direktur Utama PT Anugrah Harisma Barakah (AHB), Ahmad Nursiwan. Nama Nursiwan masuk dalam agenda pemeriksaan kasus dugaan korupsi penyalahgunaan kewenangan Gubernur Sulawesi Tenggara Nur Alam dalam persetujuan dan penerbitan izin usaha pertambangan (IUP) pada 2008-2014. "Ya jadi saksi utk tersangka NA (Nur Alam)," ucap Pelaksana Harian Kepala Biro Humas KPK Yuyuk Andriati sesaat dikonfirmasi, Juumat (30/9/2016). Bukan kali pertama Nursiwan dipanggil penyidik KPK. 

Pd_ 15 September lalu dia juga sudah menghadap penyidik KPK untuk diperiksa. Bersamaan dengan Nursiwan, KPK juga memanggil saksi laiin dari pihak swasta, yakni Gino Valentino Budiman Riswantyo. Gino pula diperiksa sebagai saksi utk tersangka Nur Alam. KPK menetapkan Gubernur Sulawesi Tenggara Nur Alam sebagai tersangka kasus dugaan korupsi penyalahgunaan wewenang dalam persetujuan dan penerbitan SK IUP di wilayah Provinsi Sultra. 

Gubernur Sulawesi Tenggara periode 2008-2013 dan 2013-2018 itu melakukan penyalahgunaan wewenang dalam menerbitkan SK yang tidak sesuai aturan perundang-perundangan yang berlaku. Selaku Gubernur Sultra, Nur Alam mengeluarkan tiga SK ke-pada PT Anugrah Harisma Barakah (AHB) dari tahun 2008-2014. Yakni, SK Persetujuan Pencadangan Wilayah Pertambangan, SK Persetujuan IUP Eksplorasi, dan SK Persetujuan Peningkatan IUP Eksplorasi Menjdi IUP Operasi Produksi. Diduga ada kickback atau imbal jasa yang diterima Nur Alam dalam memberikan tiga SK tersebut. 

Atas perbuatannya, KPK menjerat Nur Alam dngn Pasal 2 ayat 1 atau Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP. PT AHB merupakan perusahaan tambang yang melakukan penambangan nikel di Kabupaten Buton & Kabupaten Bombana, Sulawesi Tenggara. Perusahaan tsb melakukan kegiatan penambangan di bekas lahan konsensi PT Inco. PT AHB pula berafiliasi dengan PT Billy Indonesia. Hasil tambang nikel oleh PT Billy Iindonesia kemudian dijual kepada Richcorp International Limited, perusahaan yang berbasis di Hong Kong. 

Perusahaan yang bergerak di bisnis tambang tsb kemudian diduga mengirim uang sebesar US 4,5 juta atau sekitar Rp 60 miliar kepada Nur Alam lewat sebuah bank di Hong Kong. ( info meta data berita ini, dalami,korupsi,gubernur,sultra,,kpk,periksa,lagi,dirut,pt,ahb, sulawesi, persetujuan, tenggara, nursiwan, perusahaan )

Tuesday, November 29, 2016

Kasus Korupsi PLTU PAITON I Probolinggo

Kasus pidana Paiton I sudah tersedia bukti permulaan yang kuat yakni hasil audit investigasi BPKP . Kasus dugaan korupsi pengadaan listrik swasta Paiton I di Probolinggo bermula dari Lmarkup terhadap capital cost sebesar 48 persen dari seluruh nilai proyek yang sebesar Rp 7,015 triliun. Sebenarnya, Paiton I telah diaudit BPKP dan due diligence SNC-Lavalin. Kedua lembaga tersebut jelas-jelas menyatakan ada mark up dan rekayasa besar-besaran pada sisi proses penyiapan listrik swasta dan proses investasinya. Dalam Laporannya, BPKP membedah secara gamblang proses Korupsi Kolusi Nepotisme (KKN) yang terjadi, mulai dari perencanaan, proses mendapatkan Surat Ijin Prinsip, pembiayaan, pelaksanaan, produksi, distribusi, konsumsi, pembayaran dan berbagai previlege yang didapat dengan merugikan keuangan negara sekitar 

Kasus ini ditangani Kejaksaan Agung (Kejagung). Dalam kasus tersebut bekas Direktur Utama PLN Zuhal dan bekas Dirut PLN Djiteng Marsudi sudah diperiksa. Menurut hasil penyelidikan Kejagung, proyek Paiton I dinilai melanggar keputusan presiden mengenai prosedur pengadaan listrik di lingkungan departemen yang harus melalui prosedur lelang. Indikasi kolusi terlihat dalam proses negosiasi melalui bukti Surat Menteri Pertambangan dan Energi tertanggal 13 Februari 1993.Dalam surat itu dinyatakan persetujuan, kesepakatan, dan nilai prematur yang tak sesuai dengan kondisi sebenarnya. 

Penyelidikan kasus Paiton I dihentikan Kejaksaan Agung (Kejagung) pada 2001. Pada akhir 2002, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memerintahkan Kejakgung melanjutkan proses penyidikan kasus PLTU Paiton I dalam sidang praperadilan yang diajukan oleh kelompok masyarakat. Namun, Kejagung tidak bertindak. Pada akhir 2004, sebuah organisasi non-pemerintah juga telah melaporkan kasus Paiton I ke KPK, namun anehnya hingga sekarang lembaga pemberantas korupsi itu tidak melakukan tindakan apapun.

Kasus Simulator SIM

Pada 2011, KPK melakukan penyidikan kasus dugaan korupsi pengadaan alat simulator Surat Izin Mengemudi (SIM) di Korlantas Polri. Penyidikan proyek senilai Rp 198 tersebut menyeret nama-nama petinggi Mabes Polri, salah satunya yakni Kepala Korps Lalu Lintas Mabes Polri  Inspektur Jenderal Polisi Djoko Susilo. Djoko ditetapkan sebagai tersangka bersama dengan beberapa orang lainnya, yakni Brigjen Didik Purnomo, Direktur PT CMMA Budi Susanto, dan Direktur PT Inovasi Teknologi Indonesia, Sukotjo Bambang.
Perbuatan tersebut menurut penghitungan BPK mengakibatkan kerugian negara sebesar Rp121,3 miliar. Djoko, jenderal bintang dua yang juga Gubernur Akademi Kepolisian itu diduga memperkaya diri sendiri (melalui tindak pidana pencucian uang) atau orang lain atau korporasi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi. Pada September 2013, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi menjatuhkan vonis 10 tahun dan denda Rp500 juta bagi sang jenderal.
Djoko Susilo kemudian mengajukan permohonan banding atas vonis tersebut, namun Pengadilan Tinggi Jakarta justru menambah hukuman Djoko dari 10 tahun menjadi 18 tahun serta memerintahkan Djoko yang saat ini ditahan di Lapas Sukamiskin, Bandung, membayar uang pengganti Rp32 miliar, dan sejumlah pidana tambahan, antara lain: pencabutan hak untuk memilih dan dipilih dalam jabatan publik.Sementara itu, tersangka lain yakni Brigjen Didik Purnomo, juga telah ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK.
Didik selaku Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) dalam proyek ini disebut terbukti menerima Rp 50 juta dari pengusaha Budi Susanto untuk memuluskan PT CMMA sebagai penggarap proyek simulator. Budi Santoso sendiri sempat dijatuhi vonis 8 tahun penjara dan kewajiban membayar ganti rugi sebesar Rp 17,1 miliar pada awal 2014  lalu. Di tingkat kasasi, MA mengabulkan upaya kasasi yang diajukan oleh Jaksa KPK dan memvonis Direktur PT CMMA tersebut dengan hukuman lebih berat berupa 14 tahun penjara serta kewajiban membayar ganti rugi ke negara hingga Rp 88,4 miliar.
Sementara itu, pada Mei 2012, Sukotjo Bambang divonis Majelis Hakim Pengadilan Negeri Bandung selama 3,5 tahun penjara sekitar Rp 38 miliar untuk pengadaan simulator kemudi di Korlantas Polri. Putusan tingkat pertama ini lalu diperberat menjadi 3 tahun dan 10 bulan oleh Pengadilan Tinggi Bandung. Atas dua putusan tersebut, Bambang melakukan kasasi ke Mahkamah Agung per 8 Agustus 2012, namun ditolak.

Monday, November 28, 2016

Divonis 6 Tahun Penjara, Eddy Sofyan Ajukan Kasasi

Divonis 6 Tahun Penjara, Eddy Sofyan Ajukan Kasasi
  • Nov 15, 2016
Image result for kasus korupsi di indonesia eddy
MEDAN, SUMUTPOS.CO -Divonis 6 tahun penjara ditingkat banding di Pengadilan Tinggi (PT) Medan, atas kasus korupsi Dana Hibah dan Bantuan Sosial (Bansos) Pemerintah Provinsi Sumatera Utara (Pemprov Sumut). Terdakwa, Eddy Sofyan melalu tim kuasa hukumnya mengajukan kasasi di Mahkamah Agung (MA) RI.
Dengan ini, ?Mantan Kepala Badan Kesatuan Bangsa Politik dan Perlindungan Masyaratakat Provinsi Sumatera Utara (Kesbangpol dan Linmas Provsu), Eddy Syofian melajukan upaya hukum di MA RI.
“Saya sudah tanya tim saya, bahwa pak Eddy Syofian telah mengajukan kasasi ke MA atas putusan 6 tahun terhadap klien kita (Eddy Syofian),” sebut kuasa hukum Eddy Syofian, Japansen Sinaga saat dikonfirmasi wartawan melalui telepon selular, Senin (14/11) siang.
Ketua Peradi Cabang Medan versi Juniver Girsang ini mengaku bukan dirinya yang menyiapkan memory kasasi tersebut.Karena itu, Japansen tidak mengetahui kapan memory kasasi tersebut diajukan. Yang dipastikan akan segera diajukan dalam waktu dekat setelah anggotanya melaporkan hal tersebut kepada dirinya.
“Saya tidak tahu. Karena tim belum melaporkan ke saya. Hanya baru sebatas mengajukan kasasi saja,” sebut Japansen. Senada dengan tim kuasa hukum Eddy Syofian, pihak Jaksa Penuntut Umum juga turut mengajukan kontra kasasi ke MA. “Iya kan kasasi mereka (Eddy Syofian dan kuasa hukumnya). Jadi kita juga turut kasasi,” ujar JPU Rehulina Purba dan Ingan Malem Purba.
Diketahui, majelis hakim tinggi yang diketuai oleh Cicut Sutiarso didampingi hakim tinggi anggota yakni Robert Simorangkir dan Mangasa Manurung menghukum Eddy Syofian selama 6 tahun penjara dan denda Rp 200 juta subsidair 6 bulan kurungan dan membebankan membayar Uang Pengganti (UP) sebesar Rp 1,145 miliar.
Eddy Syofian terbukti bersalah melakukan korupsi pada penyaluran dana hibah dan bansos di Kesbangpol dan Linmas Provsu pada Tahun Anggaran (TA) 2012-2013 yang menyebabkan kerugian negara sebesar Rp 1,145 miliar. (gus)

Tuesday, November 22, 2016

Kasus Korupsi Muhammad Nazaruddin - Shabrina 10e

Kasus Nazaruddin bermula pada saat dirinya dituduh menjadi aktor dibalik kasus suap. Nama Muhammad mulai banyak diperbincangkan ketika dirinya dituduh dalam kasus suap Sesmenpora Wafid Muharram. Menurut Kamarudin Simanjutak kliennya disuruh oleh seorang anggota partai politik yang diketahui namanya Nazaruddin. 

 Penetapan nazaruddin sebagai tersangka yang pada awalnya dirinya berkelit terlibat kasus penyuapan dan pemberontakan yang dilakukan tetapi akhirnya terbukti sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi. Sehari sebelum ditetapkannya Nazaruddin ditetapkan sebagai tersangka dirinya berhasil melarikan diri keluar negeri dengan alasan pemeriksaan kesehatan.  

Pada saat itu kasus ini mencuat Nazaruddin merupakan bendahara umum di partai Demokrat. Kasusu ini membuat secara tidsk langsung membuat pamor dari partai Demokrat turun di mata masyarakat. Melihat dirinya kebelakang Muhammad Nazaruddin sebelum terlibat dalam kasus penyuapan merupakan pernah terlibat dalam kasus pemalsuan dokumen yang pada saat itu dilakukan agar persuhaan perusahaan miliknya PT Anugerah Nusantara memenuhi persyaratan mengikuti proyek tender pengadaan di Departemen Perindustrin yang bernilai Rp. 100 M. 

 Kasus tersebut terjadi pada tahun 2005 dan sempat dilakukan pemeriksaan di Polda Metro Jaya. Namun tiba-tiba keluar Sp-3 terhadap kasus tersebut sehingga dirinya terbebas dari masalah tersebut. Setelah kasus tersebut muncul lagi kasus yang hangat di perbincangkan yang terkait Nazaruddin adalah kasus percobaan yang dilakukan Nazaruddin pada Seketris Jendral M Gaffar.  

Kasus tersebut langsung ditangkap oleh ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud M. D. Nazaruddin memberikan sejumlah amplop yang berisi sejumlah uang kepada sekjen Mk tanpa ada alasan yang jelas. Setelah Nazaruddin ditetapkan sebagai tersangka Muhammad Nazaruddin justru menghilang dan sulit di temukan di Indonesia, yang akhirnya menjadi buronan interpool yang tertangkap di Kolombia. 

 Tertangkap pada 7 Agustus 2011 di Bogota Kolombia sebelum tertangkap Nazaruddin sempat membeberkan beberapa kasus terutama yang berhubungan dengan Kongres Partai Demokrat dan juga tuduhan terhadap rekayasa kasus yang dilakukan oleh KPK. Pengajuaan kasasi oleh Jaksa penuntut Umum Komisi Pemberantasan Korupsi, Mahkamah Agung (MA) menolak kasasi terdakwa kasus dugaan korupsi pembangunan Wisma Atlet Palembang, M.Nazaruddin. Putusan ini juga mengabulkan permohonan kasasi yang diajukan Jaksa Penuntut Umum Komisi KPK. 

Kepala biro Hukum dan Humas Mahkamah Agung, Ridwan Mansyur menjelaskan putusan MA ini memperberat hukuman Nazaruddin yang dijatuhkan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, yaitu empat tahun 10 bulan penjara menjadi tujuh tahun penjara. Selain itu, dalam putusannya, MA juga memberikan hukuman denda Rp 300 juta kepada Nazaruddin.  

 "Mengadili, menolak permohonan kasasi dari pemohon kasasi 2 Muhamad Nazaruddin. Mengabulkan permohonan dari pemohon kasasi 1 jaksa pada Komisi Pemberantasan Korupsi. Membatalkan putusan pengadilan tindak pidana korupsi pada Pengadilan Tinggi Jakarta no 31/PIT/TPK/2012-PT DKI TANGGAL 8 Agustus 2012, yang telah menguatkan putusan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tanggal 20 april 2012. Mengadili sendiri, menyatakan terdakwa Muhamad Nazaruddin terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi. Menghukum pidana selama 7 tahun dan denda Rp 300 juta. 

Ridwan Mansyur menambahkan, dalam putusan kasasi itu juga menjelaskan, apabila denda Rp 300 juta tidak dibayar, dapat diganti pidana penjara selama enam bulan. Putusan kasasi itu menurut Ridwan, dengan Majelis Hakim kasasi yang diketuai Hakim Agung Artidjo Alkostar dengan dua anggota majelis, yakni Hakim Agung Mohammad Askin dan Hakim Agung MS Lumme. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengaku menerima putusan kasasi Mahkamah Agung (MA) terkait kasus suap pembangunan Wisma Atlet SEA Games dengan terdakwa Muhammad Nazaruddin. 

 Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada 20 April 2012 menjatuhkan pidana empat tahun sepuluh bulan penjara dan denda Rp. 200 juta kepada Nazaruddin. Vonis tersebut lebih ringan dibandingkan tuntutan jaksa yang menuntut Nazaruddin dengan pidana penjara selama tujuh tahun. Di persidangan, mantan bendahara umum partai Demokrat itu terbukti menerima suap Rp 4,6 miliar. Nazar juga dinilai memiliki andil membuat PT DGI menang lelang proyek senilai Rp. 191 miliar di Kementerian Pemuda dan Olahraga.

Kronologi Kasus OC Kaligis Hingga Penangkapan oleh Pihak KPK

KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) mendakwa Otto Cornelis Kaligis atas dugaan penyuapan terhadap hakim dan panitera Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Medan. Dalam kasus ini, Kaligis disebutkan melakukan penyuapan sebanyak dua kali kepada hakim. Sebelum akhirnya penyuapan ketiga dilakukan oleh M. Yagari Bhastara Guntur atau Gary yang berujung pada penangkapan.
Sebenarnya bagaimana kasus ini bermula? Berdasarkan informasi dari berbagai sumber, berikut IDNtimes berikan kronologi kasus suap OC Kaligis.
Pertama, pihak penuntut umum menyebutkan penyuapan bermula saat Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara memanggil Bendahara Umum Pemprov Sumatera utara, Achmad Fuad Lubis. Pemanggilan tersebut dalam rangka memberikan keterangan terkait kasus korupsi dana bansos. Gubernur Sumetara Utara, Gatot Pujo Nugroho yang merupakan atasan Fuad memberitahukan kepada Kaligis atas adanya pemanggilan tersebut.
April 2015 – OC Kaligis memberikan amplop berisikan 5.000 dolar Singapura untuk Tripeni dan 1.000 dollar Singapura untuk Syamsir.oc-today-508827d702ca2e4a1efa71980f0ad519.jpg
Gatot dan istri kemudian pergi ke kantor Kaligis karena khawatir pemanggilan terhadap Fuad nanti akan bisa mengarah kepada dirinya. Kaligis lalu mengusulkan Fuad untuk mengajukan gugatannya ke PTUN Medan. Selanjutnya, Kaligis menjadi kuasa hukum Fuad dalam gugatan ke PTUN Medan tersebut.
Kaligis, Gary dan Indah kemudian bertemu dengan Syamsir dan Tripeni untuk membicarakan mengenai gugatan. Pada saat itu, Kaligis memberikan amplop berisi uang dengan nominal 5.000 dolar Singapura kepada Tripeni Irianto selaku ketua PTUN. Serta menemui Syamsir Yusfan selaku Panitera PTUN dan memberi uang 1.000 dolar Singapura.
5 Mei 2015 – OC Kaligis kembali memberikan amplop berisikan 10.000 dolar Singapura untuk Tripeni.


Kaligis dan Gary kembali datang ke kantor PTUN Medan. Dalam pertemuan tersebut, OC Kaligis memberikan uang sejumlah 10.000 dolar Amerika supaya Tripeni mau menjadi hakim yang menangani perkaranya. Gary pun kemudian mendaftarkan gugatannya.
18 Mei 2015 – Kaligis dan Gary menyuruh Tripeni untuk memutuskan perkara sesuai dengan gugatannya.
Kaligis, Gary dan Indah menemui Tripeni guna meyakinkannya untuk berani memutuskan perkara sesuai dengan gugatan.
1 Juli 2015 – Kaligis terima uang 50 juta rupiah dan 30.000 dolar Amerika dari Evy Susanti.
Sekretaris dan Kepala Bagian Administrasi dari Kantor OC Kaligis & Assciates, Yenny Octorina Misnan memberitahukan kepada Kaligis bahwa ada penerimaan uang sebesar 50 juta rupiah dan 30 ribu dolar Amerika yang diterima dari Evy Susanti yang merupakan istri dari Gubernur Sumatera Utara.
Kaligis kemudian meminta Yenny untuk membungkusnya dalam lima amplop, tiga amplop masing-masing berisi 3.000 dollar Amerika dan dua amplop berisikan 1.000 dollar Amerika.
2 Juli 2015 – Tripeni tolak pemberian amplop, OC Kaligis minta uang tambahan kepada Evy sebesar 25.000 dolar Amerika.
Kaligis bertemu dengan Tripeni, namun dia menolak pemberian amplop tersebut. Kaligis lalu bertemu dengan Evy di Jakarta dan meminta uang tambahan dengan besaran 25.000 dolar Amerika untuk diberikan kepada tiga hakim.
5 Juli 2015 – Gary bertemu dengan Hakim Dermawan dan Hakim Amir sembari menyerahkan amplop putih berisikan uang 5.000 dolar AS.
Kaligis, Gary dan Indah berangkat ke Medan dan menuju ke kantor PTUN Medan. Kaligis dan Indah menunggu di mobil, sementara itu Gary masuk dan menyerahkan amplop putih yang nilainya masing-masing 5.000 dolar Amerika kepada Hakim Dermawan dan Hakim Amir.

Kasus Korupsi Rp 270 Miliar, Bekas Bupati Dihukum 1,5 Tahun Bui

Kasus Korupsi Rp 270 Miliar, Bekas Bupati Dihukum 1,5 Tahun Bui
Didakwa terlibat korupsi bantuan sosial (Bansos) di Kabupaten Bengkalis senilai Rp 270 miliar dan disebut turut merugikan negara Rp 31 miliar, mantan Bupati Bengkalis Herliyan Saleh lepas dari 8 tahun penjara. Dalam vonis di Pengadilan Tipikor Pekanbaru pada Selasa petang, 11 Oktober 2016, politikus PAN itu hanya divonis 1 tahun dan 6 bulan penjara oleh majelis hakim yang diketuai Dr Marsudin Nainggolan. "Menyatakan terdakwa tak terbukti melanggar pasal 2 ayat 1 sebagaimana dakwaan Primair. Dan menyatakan terdakwa melanggar Pasal 3 Undang-Undang tentang Korupsi juncto Pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP," ujar Marsudin dalam amar putusannya. Dalam pertimbangan vonis, Marsudin menyebut Herliyan bukan aktor utama, melainkan merupakan pihak yang turut serta menyebabkan kerugian negara dalam menggunakan anggaran daerah. Menurut hakim, yang menjadi aktor utama dalam menyetujui penyaluran Bansos pada 2012 adalah mantan Ketua DPRD Bengkalis, Jamal Abdillan, beserta para legislator kala itu yang sudah divonis bersalah.

-Anthoni Alvaro 10E